Kekhawatiran Pencabutan PPKM di Tengah Ancaman Subvarian BF.7

SOBATINDONEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah kekhawatiran masih muncul setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghentikan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 30 Desember 2022. Salah satunya dengan masuknya mutasi SARS-CoV-2 Omicron subvarian BF.7 di Indonesia.

Subvarian ini telah memicu lonjakan kasus di berbagai negara lain, salah satunya Cina. Beberapa negara lain muncul membatasi pelancong dari Cina, seperti Inggris dan Prancis yang mewajibkan penumpang dari Cina untuk menunjukkan hasil tes Covid-19 negatif dua hari sebelum keberangkatan.

Langkah itu dilakukan setelah keraguan atas transparansi data resmi dari Beijing, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang gelombang infeksi. Tapi Cina menganggap kebijakan ini diskriminatif.

“Tujuan sebenarnya adalah untuk menyabotase tiga tahun upaya pengendalian Covid-19 Cina dan menyerang sistem negara. Pembatasan itu tidak berdasar dan diskriminatif,” kata tabloid milik pemerintah Global Times dalam sebuah artikel Kamis malam, 29 Desember 2022.

Tapi Indonesia tidak mengambi langkah terbaru soal pembatasan perjalanan pelancong di tengah merebaknya subvarin BF.7. Juru bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut sejatinya pembatasan perjalanan belum pernah dicabut sampai hari ini, sekalipun PPKM dihentikan.

“Masih berlaku,” kata Wiku saat dihubungi, Minggu, 1 Januari 2023.

Pembatasan ini masih tertuang dalam Surat Edaran (SE) Satgas Covid-19 Nomor 25 Tahun 2022 Tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri yang sudah berlaku sejak 4 bulan lalu, yaitu 1 September 2022.

Sesuai SE 25, orang yang datang ke Indonesia tetap akan menjadi tes swab PCR bila suhu tubuhnya di atas 37,5 derajat celcius. Bila hasilnya positif, mereka tetap harus menjalani isolasi atau perawatan.

Di situlah, kata Wiku, pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS) tetap dilakukan untuk mengetahui varian dari Covid-19 pendatang ini. Kebijakan ini berlaku untuk semua pendatang, tidak untuk satu negara tertentu.

Sebelumnya, Jokowi resmi menghentikan PPKM mulai 30 Desember 2022 karena menilai semua indikator Covid-19 di Tanah Air sudah dibawah standar WHO. Per 27 Desember, hanya ada 1,7 kasus per satu juta penduduk dan positivity rate mingguan 3,35 persen.

Berikutnya, tingkat perawatan rumah sakit atau Bed Occupancy Ratio (BOR) 4,79 persen, dan angka kematian 2,39 persen. Ini yang jadi alasan Jokowi menghentikn PPKM. “Tak ada lagi pembatasan kerumunan dan pergerakan masyarakat,” kata dia.

Tak hanya pembatasan perjalanan yang masih diterapkan, protokol kesehatan pun masih tetap disuarakan oleh pemerintah. Jokowi meminta masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan. 

“Pemakaian masker di keramaian dan ruang tertutup harus tetap dilanjutkan, Kesadaran vaksinasi harus terus digalakkan karena ini akan membantu meningkatkan imunitas,” kata dia.

Sementara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut tetap ada kemungkinan kebijakan ini untuk berlaku kembali. “Bila terjadi lonjakan itu dapat diberlakukan kembali PPKM,” kata Tito.

Meski mencabut PPKM, Tito menegaskan Satgas Covid-19 di pusat hingga daerah tidak akan dibubarkan. Mereka diminta tetap melakukan pemantauan di daerah masing-masing. “Kalau ada hal yang urgent, mereka cepat melakukan tindakan,” kata Tito.

Selain itu, pemerintah tetap meminta masyarakat untuk menggunakan masker di keramaian dan ruangan tertutup. Tito mengingatkan bahwa pencabutan PPKM bukan berarti pandemi Covid-19 selesai.

“Ada beberapa protokol kesehatan yang tetap kami dorong, terutama pemakaian masker lebih khusus di tempat-tempat tertutup di publik transportasi,” kata dia.

Selain itu, masyarakat yang punya gejala gangguan pernapasan seperti batuk, pilek, dan lainnya juga dianjurkan tetap memakai masker. Tito menyebut pemerintah ingin kebiasaan memakai masker ini jadi kebiasaan baru.

“Seperti negara-negara maju, negara Jepang misalnya, kalau anggota masyarakat ada yang kena gejala gangguan pernapasan, mereka secara sadar memakai masker,” kata mantan Kapolri ini.

Seiring dengan penghentian PPKM, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga menyatakan bahwa pemerintah tak lagi mewajibkan berbagai syarat kesehatan seperti pengecekan tes swab Antigen dan PCR. “Apakah dihapus, mungkin yang lebih tepat jawabannya begini, tidak akan menjadi sesuatu yang diwajibkan atau disuruh pemerintah,” kata dia.

Akan tetapi, Budi berharap masyarakat punya kesadaran sendiri untuk tes swab Antigen dan PCR. “Kalau sudah merasa kayaknya sakit, ya tes sendiri, karena tahu itu menular, dia harusnya isolasi mandiri, tanpa diberitahu kantor atau dipaksa oleh pemerintah,” kata dia.

Sebelum Jokowi mengumumkan PPKM, Subvarian BF.7 sudah terkonfirmasi masuk ke Indonesia. Ada 15 pasien terkonfirmasi yang spesimennya sebenarnya telah diambil sejak Oktober 2022.

Mereka dilaporkan hanya mengalami gejala ringan seperti flu dan menjalankan isolasi secara mandiri. Tapi sejak 29 Desember, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan 15 pasien ini telah dinyatakan sembuh.

“Kita tidak perlu khawatir sejak Oktober belum ada tanda peningkatan kasus BF.7. Semua pasien (kini) sudah sehat,” kata Nadia saat itu.

Alasan ini juga yang digunakan Jokowi untuk memutuskan menghentikan PPKM. Ia bahkan menyebut tidak ada lagi lonjakan kasus dalam kurun waktu 10 bulan terakhir. Sehingga, Jokowi menyebut penghentian PPKM melewati kajian dan tidak diambil tergesa-gesa.

Tapi penyebaran BF.7 di Indonesia tetap jadi kekhawatiran. Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menyarankan pemerintah mempertimbangkan pengetatan jalur masuk pelancong dari negara-negara yang terinfeksi.

Misalnya dengan mewajibkan tes PCR atau antigen serta menerapkan kewajiban karantina mandiri selama tiga hari setelah kedatangan. “Banyak negara menerapkan pola pembatasan itu,” kata Dicky.

Wiku mengatakan sejatinya, tidak ada negara di dunia ini yang bisa menutup laju penyebaran subvarian tertentu. Selama masih ada ruang untuk bertahap, maka akan terbuka kemungkinan untuk terjadinya mutasi virus.

Subvarian BF.7 ini pun pada akhirnya tetap bisa menjangkiti orang yang sudah mendapat vaksin Covid-19. Sebab vaksin yang ada dibuat berdasarkan varian awal. Walau begtu, Wiku meyakinkan bahwa kemunculan subvarian ini tidak bisa dianggap berbahaya untuk semua kalangan,

“Siapa yang bahaya, lansia dan komorbid (punya penyakit bawaan), meski sudah vaksin,” kata dia. Sebab ketika subvarian ini tembus ke tubuh lansia dan orang yang punya komorbid, respons tubuhnya tidak sekuat anak muda.

Itulah sebabnya, pemerintah di satu sisi telah menghentikan semua bentuk pembatasan sosial dalam kebijakan PPKM. Di saat yang bersamaan, upaya pencegahan terhadap Covid-19 sekarang lebih besar ada di tangan masyarakat.

“Sarannya, bisa mengukur diri,” kata Wiku. Jangan sampai hanya karena ada kelompok masyarakat berisiko tinggi, kata dia, pemerintah membuat pengetatan untuk semua kelompok masyarakat.

Sehingga, kata Wiku, Satgas Covid-19 mendorong agar mereka yang berisiko untuk dilindungi oleh orang-orang di sekitarnya. Caranya dengan mendorong mereka untuk vaksin dan menjalankan protokol kesehatan. “Harus protektif dan orang di sekitarnya melindungi, itu pesan saya intinya,” kata Wiku.

Analogi seperti ini pula yang didorong oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Budi tetap menyarahkan masyarakat tes swab dengan menggunakan analogi termometer yang dipakai ketika demam. “Masyarakat sudah punya sendiri kan, nah kira-kira analoginya sama,” kata dia.

Di saat yang bersamaan, Budi menyebut pihaknya secara berhatap akan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk tes swab mandiri. “Setelah ini kami akan keluarkan aturan mengenai rapid test (tes swab) jadi orang boleh rapid test,” ujarnya.

(tempo.co)

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.